k9fNfc9la6TpAxgmQLSGLRtfzYBM7Q8ABHwNMyzK
Bookmark

Sejarah Cut Meutia


Sebelum Cut Nyak Meutia lahir, pasukan Belanda sudah menduduki daerah Aceh yang digelari serambi Mekkah tersebut. Perlakuan Belanda yang semena-mena dengan berbagai pemaksaan dan penyiksaan akhirnya menimbulkan perlawanan dari rakyat. Tiga tahun sebelum perang Aceh-Belanda meletus, ketika itulah Cut Nyak Meutia dilahirkan. Suasana perang pada saat kelahiran dan perkembangannya itu, di kemudian hari sangat memengaruhi perjalanan hidupnya. Cut Nyak Meutia adalah pahlawan nasional Indonesia dari daerah Aceh. Ia dimakamkan di Alue Kurieng, Aceh.
Awalnya Cut Meutia melakukan perlawanan terhadap Belanda bersama suaminya Teuku Muhammad atau Teuku Cik Tunong. Namun pada bulan Maret 1905, Cik Tunong berhasil ditangkap Belanda dan dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, Teuku Cik Tunong berpesan kepada sahabatnya Pang Nagroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya Teuku Raja Sabi.
Cut Meutia kemudian menikah dengan Pang Nagroe sesuai wasiat suaminya dan bergabung dengan pasukan lainnya dibawah pimpinan Teuku Muda Gantoe. Pasukan Belanda yang mempunyai persenjataan lebih lengkap memaksa pasukan pejuang kemerdekaan yang dipimpin pasangan suami istri itu melakukan taktik perang gerilya. Berkali-kali pasukan mereka berhasil mencegat patroli pasukan Belanda. Di lain waktu, mereka juga pernah menyerang langsung ke markas pasukan Belanda di Idie.
Sudah banyak kerugian pemerintahan Belanda baik berupa pasukan yang tewas maupun materi diakibatkan perlawanan pasukan Cut Nyak Meutia. Karenanya, melalui pihak keluarga Meutia sendiri, Belanda selalu berusaha membujuknya agar menyerahkan diri. Namun Cut Nyak Meutia tidak pernah tunduk terhadap bujukan yang terkesan memaksa tersebut.
Bersama suaminya, tanpa kenal takut dia terus melakukan perlawanan. Namun naas bagi Teuku Cik Tunong, suaminya. Suatu hari di bulan Mei tahun 1905, Teuku Cik Tunong berhasil ditangkap pasukan Belanda. Ia kemudian dijatuhi hukuman tembak.
Berselang beberapa lama setelah kematian suaminya, Cut Nyak Meutia menikah lagi dengan Pang Nangru, pria yang ditunjuk dan dipesan suami pertamanya sebelum menjalani hukuman tembak. Pang Nangru adalah teman akrab dan kepercayaan suami pertamanya, Teuku Cik Tunong. Bersama suami keduanya itu, Cut Nyak Meutia terus melanjutkan perjuangan melawan pendudukan Belanda.
Di lain pihak, pengepungan pasukan Belanda pun semakin hari semakin mengetat yang mengakibatkan basis pertahanan mereka semakin menyempit. Pasukan Cut Meutia semakin tertekan mundur, masuk lebih jauh ke pedalaman rimba Pasai.
Di samping itu, mereka pun terpaksa berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menyiasati pencari jejak pasukan Belanda. Namun pada satu pertempuran di Paya Cicem pada bulan September tahun 1910, Pang Nangru juga tewas di tangan pasukan Belanda. Sementara Cut Nyak Meutia sendiri masih dapat meloloskan diri.
Kematian Pang Nangru membuat beberapa orang teman Pang Nangru akhirnya menyerahkan diri. Sedangkan Meutia walaupun dibujuk untuk menyerah namun tetap tidak bersedia. Di pedalaman rimba Pasai, dia hidup berpindah-pindah bersama anaknya, Raja Sabil, yang masih berumur sebelas tahun untuk menghindari pengejaran pasukan Belanda.
Tapi pengejaran pasukan Belanda yang sangat intensif membuatnya tidak bisa menghindar lagi. Rahasia tempat persembunyiannya terbongkar. Dalam suatu pengepungan yang rapi dan ketat pada tanggal 24 Oktober 1910, dia berhasil ditemukan.
Walaupun pasukan Belanda bersenjata api lengkap tapi itu tidak membuat hatinya kecut. Dengan sebilah rencong di tangan, dia tetap melakukan perlawanan. Namun tiga orang tentara Belanda yang dekat dengannya melepaskan tembakan. Dia pun gugur setelah sebuah peluru mengenai kepala dan dua buah lainnya mengenai dadanya.
Cut Nyak Meutia gugur sebagai pejuang pembela bangsa. Atas jasa dan pengorbanannya, oleh negara namanya dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang disahkan dengan SK Presiden RI No.107 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964.
Posting Komentar

Posting Komentar