k9fNfc9la6TpAxgmQLSGLRtfzYBM7Q8ABHwNMyzK
Bookmark

Permasalahan-Permasalahan Dalam Penerapan Growth Pole Di Indonesia

permasalahan wilayah

Penerapan konsep sebagai bentuk dan upaya pertumbuhan wilayah juga menimbulkan dampak yang tidak dapat dihindari, seperti sentralisasi, urbanisasi dan mega urban, pengangguran di perkotaan dan pedesaan, bias perkotaan dan pro Jawa.

1. Sentralisasi

Sentralisasi pada sektor industri yang ada di Indonesia sebagai suatu dampak dari penerapan suatu teori Growth Pole, dampak tersebut dapat dilihat dari data PDB di Indonesia yang dibagi dalam wilayah pedesaan dan perkotaan. Apabila diasumsikan sektor primer lebih terkosenrasi pada wilayah pedesaan sedangkan untuk sektor sekunder dan tersier terkosentrasi pada wilayah perkotaan. Pada tahun 1976-1998 terjadi peningkatan pada sektor sekunder dan tersier pada PDB di Indonesia. Sehingga adanya perbedaan suatu kebutuhan pada wilayah pedesaan dan wilayah perkotaan. Dimana pada wilayah perkotaan lebih besar nilai PDB dibandingkan dengan wilayah pedesaan.

2. Urbanisasi dan Megaurban

Sentralisasi dari kegiatan industri di kutub-kutub wilayah perkotaan telah menciptakan suatu lapangan pekerjaan dan mengakibatkan banyak penduduk dari wilayah pedesaan untuk pindah ke kutub kota. Terbatasnya pekerjaan yang ada di wilayah pedesaan mengakibatkan timbulnya urbanisasi penduduk desa menuju kota. Akibat dari urbanisasi maka kota-kota yang terkosentrasi oleh kegiatan industri akan membentuk suatu wilayah yang metropolitan dan megaurban, seperti Jabotabek, Bandungraya dan sebagainya.

Ini tentunya sebagai akibat penerapan konsep growth pole yang diterapkan dalam strategi keruangan di Indonesia. Yaitu konsentrasi pertumbuhan kegiatan ekonomi pada ruang. Konsentrasi ini di satu sisi akan didapatkan efisiensi, tetapi di pihak lain bila konsentrasi semakin besar, efisiensi sebagai hasil dari trickling dowmn effect, atau penetesan kesejahteraan pada wilayah sekitarnya ternyata tidak terjadi, bahkan sebaliknya terjadi backwash effect, penyapuan sumberdaya yang ada di sekitar kutub atau pole yang ada.

Kosentrasi kegiatan tersebut dan urbanisasi atau terjadinya megaurban ternyata tidak didukung oleh penyediaan fasilitas yang cukup di wilayah perkotaan. Hal ini diakibatkan karena adanya keterbatasan pemerintah dalam fasilitas tersebut. Karena jumlah penduduk yang ada di wilayah perkotaan melebihi kapasitas suatu kota.

Pada akhirnya terjadi penurunan kualitas kehidupan di wilayah kutub (pole) maupun wilayah perkotaan, sehingga meningkatkan biaya sosial sebagai akibat diseconomy scale, seperti pencemaran air dan udara, marak pencurian dll.

3. Pengangguran di Perkotaan dan Pedesaan

Di perkotaan lebih didominasi oleh kegiatan industri, kegiatan tersebut memiliki kemampuan terbatas dalam menyerap tenaga kerja, sementara lapangan kerja yang ada di pedesaan sangat terbatas juga.

Banyak pengangguran di pedesaan karena diakibatkan oleh :

a) Menurunnya kualitas Sumber Daya Alam (SDA)

b) Kurangnya penghargaan terhadap hasil pertanian.

c) Kurangnya hasil produksi, yang biasanya dapat dilakukan 2 kali dalam setahun menjadi 1 kali dalam setahun. Kurangnya tingkat hasil produksi tersebut diakibatkan oleh perubahan cuaca dan pasokan air akibat berkurangrangnya mata air di pegunungan.

Dari uraian diatas mengakibatkan sulitnya masyarakat pedesaab dalam mencari alternatif pekerjaan, oleh karena itu banyak masyarakat pedesaan yang mencari alternatif baru antara lain menuju kota untuk mendapatkan pekerjaan seperti :

a) Buruh bangunan.

b) Buruh galian.

c) Kuli dan lain-lain.

Dan bahkan masyarakat pedesaan dalam mencari alternatif pekerjaannya ke luar negeri untuk menjadi TKI

Selain permasalahan yang timbul akibat dari penerapan growth pole theory pada pembangunan di Indonesia, dapat dijumpai permasalahn-permasalahan yang di timbul akibat pembangunan di wilayah. Permasalahan-permasalahn tersebut adalah

1) pelanggaran tataruang

Dalam pelaksanaan tataruang di Indonesia telah diatur dengan seksama. Hal itu terlihat dengan penerapan Undang-undang No 26 Tahun 2007 tentang tataruang, dimana disana telah dijelaskan tentang penataan ruang negara indonesia yang harus menjadi acuan dan pedoman dalam pelaksanaan penataan dan perencanaan keruangan di seluruh wilayah indonesia.

Banyak sekali pelanggaran tataruang indonesia. Mulai dari penggunaan lahan-lahan yang tidak semestinya, sampai masalah perijinan yang menjadi bahan

Menurut Budihardjo (1997: 28), bahwa lemahnya kekuatan hukum yang mendukung penataan ruang dan pengelolaan wilayah sangat berpengaruh pada implementasi produk pengendalian tata ruang, karena adanya tekanan dari kekuasaan dari penguasa atau dari pejabat kalangan atas. Di Indonesia legalisasi produk pengendalian tata ruang kota dinilai agak lamban, hal ini menunjukkan bahwa produk pengendalian tersebut belum memiliki kedudukan yang berarti dalam proses pembangunan

Pelanggaran terhadap rencana tata ruang yang terjadi jarang sekali dikenakan teguran, paksaan (enforcement), apalagi sangsi. Bagi yang mentaati peraturan dan rencana tata ruang juga tidak diberikan penghargaan. Akibatnya pelaku pembangunan cenderung untuk melakukan pembangunan sesuai dengan kehendak dan kepentingan sendiri dan mengabaikan kepentingan masyarakat umum yang lebih luas. Dengan tidak diberlakukannya sistem insentif dan disinsentif, kecenderungan terjadinya pelanggaran pemanfaatan ruang semakin merebak.

Pertumbuhan penduduk dan keterbatasan lahan kota menyebabkan kepadatan penduduk di kota semakin tinggi sehingga efisiensi pemanfaatan ruangmenjadi tuntutan yang tidak dapat dihindari. Karena ruang bersifat terbatas, maka pemanfaatannya harus diatur agar memenuhi kebutuhan semua pihak secara adil efisien dan berkelanjutan (Kombaitan, 1995: 17).

Haeruman (1999: 9), menyatakan bahwa penggunaan ruang oleh masyarakat di perkotaan sering tidak efisien dan cenderung menimbulkan konflik karena setiap pelaku atau aktor-aktor pembangunan berusaha mengoptimasikan kepentingannya masing-masing atau kelompoknya.

Dari uraian berbagai pendapat ahli di atas dapat diambil kesimpulan faktor yang menyebabkan pelanggarantata ruang sebagai berikut

a) Lemahnya mekanisme pengendalian pembangunan

b) Pertumbuhan penduduk dan keterbatasan lahan kota

c) faktor sosial budaya masyarakat sangat berpengaruh terhadap keberadaan tata ruang

d) penggunaan ruang oleh masyarakat di perkotaan sering tidak efisien dan cenderung menimbulkan konflik

2) Alih fungsi lahan

Pengalihan fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri.

3) Trikle Down Effect

Trickle down effects adalah perkembangnan meluasnya pembagian pendapatan.Teori “trickle down effects” dari pola pembangunan yang diterapkan di wilayah miskin di negara berkembang dirasa tidak berhasil memecahkan masalah pengangguran, kemiskinan dan pembagian pendapatan yang tidak merata, baik di dalam negara berkembang masing maupun antara negara maju dengan negara berkembang. Misalnya yang terjadi antara negara Indonesia (dalam hal ini dikategorikan wilayah miskin) dan negara Jepang (wilayah kaya). Indonesia merupakan salah satu pemasok bahan baku untuk Jepang, sementara kenyataan yang terjadi Jepang semakin kaya dan Indonesia semakin miskin. Maksudnya, tingkat kemiskinan di Indonesia lebih tinggi daripada tingkat kemiskinan di Jepang.

4) Backwash effect

Backwash effects contohnya adalah makin bertambahnya permintaan masyarakat suatu wilayah kaya atas hasil-hasil dari masyarakat miskin berupa bahan makanan pokok seperti beras yang sumbernya dari pertanian masyarakat wilayah miskin. Spread effects contohnya adalah makin berkurangnya kualitas pertanian masyarakat miskin akibat dampak negatif dari polusi yang disebabkan oleh masyarakat wilayah kaya.

5) polariztion effect

Dalam teori ini berpandapat bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan. Dalam teori ini terdapat system polarisasi perkembangan suatu wilayah yang kemudian akan memberikan efek ke wilayah lainnya, atau dengan kata lain, suatu wilayah yang berkembang akan membuat wilayah di sekitarnya akan ikut berkembang.

Posting Komentar

Posting Komentar