k9fNfc9la6TpAxgmQLSGLRtfzYBM7Q8ABHwNMyzK
Bookmark

Stratigrafi Wilayah Pulau Jawa

Stratigrafi Wilayah Jawa Barat

Cekungan Jawa Barat Bagian Utara

Gambar Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Noble dkk, 1997)

Proses sedimentasi Cekungan Jawa Barat bagian Utara terjadi kisaran umur dari kala Eosen Tengah hingga Kuarter. Endapan dengan umur tertua adalah pada Eosen Tengah, yaitu pada Formasi Jatibarang yang terendapkan secara tidak selaras di atas Batuan Dasar. Urutan startigrafi regional dari yang paling tua sampai yang muda adalah Batuan sasar, Formasi Jatibarang, Formasi Cibulakan Bawah (Talang Akar, Baturaja), Formasi Cibulakan Atas (Massive, Main, Pre-Parigi), Formasi Parigi dan Formasi Cisubuh.

  • Batuan Dasar (Basement) 

Batuan dasar/ basement adalah batuan beku andesitik dan basaltik yang berumur Kapur Tengah sampai Kapur Atas dan batuan metamorf yang berumur Pra-Tersier (Sinclair dkk., 1995). Lingkungan pengendapannya merupakan suatu permukaan dengan sisa vegetasi tropis yang lapuk (Koesoemadinata, 1980). 

  • Formasi Jatibarang 

Formasi Jatibarang tersusun oleh endapan early synrift, terutama dijumpai pada bagian tengah dan timur dari Cekungan Jawa Barat Utara. Pada bagian barat cekungan ini (daerah Tambun-Rengasdengklok), kenampakan Formasi Jatibarang tidak banyak (sangat tipis) dijumpai. Pada bagian bawah Formasi ini, tersusun oleh tuff bersisipan lava (aliran), sedangkan bagian atas tersusun oleh batupasir. Formasi ini diendapkan pada fasies continental-fluvial. Minyak dan gas di beberapa tempat pada rekahan-rekahan tuff. Umur Formasi ini adalah dari kala Eosen Akhir sampai Oligosen Awal. Formasi ini terletak secara tidak selaras di atas Batuan dasar. 

  • Formasi Talang Akar 

Pada synrift berikutnya diendapkan Formasi Talang Akar. Pada awalnya Formasi ini memiliki fasies fluvial-deltaic sampai fasies marine. Litologi Formasi ini diawali oleh perselingan sedimen batupasir dengan serpih non-marine dan diakhiri oleh perselingan antara batugamping, serpih dan batupasir dalam fasies marine. Ketebalan Formasi ini sangat bervariasi dari beberapa meter di Tinggian Rengasdengklok sampai 254 m di Tinggian Tambun-Tangerang, hingga diperkirakan lebih dari 1500 m pada pusat Dalaman Ciputat. Pada akhir sedimentasi, Formasi Talang Akar ditandai dengan berakhirnya sedimen synrift. Formasi ini diperkirakan berkembang cukup baik di daerah Sukamandi dan sekitarnya. Formasi ini diendapkan pada kala Oligosen sampai dengan Miosen Awal. Pada Formasi ini juga dijumpai lapisan batubara yang kemungkinan terbentuk pada lingkungan delta. Batubara dan serpih tersebut merupakan batuan induk untuk hidrokarbon. 

  • Formasi Baturaja 

Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Talang Akar. Litologi penyusun Formasi Baturaja terdiri dari baik yang berupa paparan maupun yang berkembang sebagai reef build up (menandai fase post rift) yang secara regional menutupi seluruh sedimen klastik pada Formasi Talang Akar di Cekungan Jawa Barat Utara. Pada bagian bawah tersusun oleh batugamping masif yang semakin ke atas semakin berpori. Perkembangan batugamping terumbu umumnya dijumpai pada daerah tinggian. Namun, sekarang diketahui sebagai daerah dalaman. Selain itu juga ditemukan dolomit, interkalasi serpih glaukonit, napal, chert, batubara. Formasi ini terbentuk pada kala Miosen Awal-Miosen Tengah (terutama dari asosiasi foraminifera). Lingkungan pembentukan Formasi ini adalah pada kondisi laut dangkal, air cukup jernih, sinar matahari cukup (terutama dari melimpahnya foraminifera Spiroclypens Sp). Ketebalan Formasi ini berkisar pada (50-300) m. 

  • Formasi Cibulakan 

Formasi ini terdiri dari perselingan antara serpih dengan batupasir dan batugamping. Batugamping pada satuan ini umumnya merupakan batugamping klastik serta batugamping terumbu yang berkembang secara setempat - setempat. Batugamping terumbu ini dikenal sebagai Mid Main Carbonate (MMC). Formasi ini dibagi menjadi 2 (dua) anggota, yaitu anggota Cibulakan Atas dan anggota Cibulakan Bawah. Pembagian anggota ini berdasarkan perbedaan lingkungan pengendapan, dimana anggota Cibulakan Bawah merupakan endapan transisi (paralik), sedangkan anggota Cibulakan Atas merupakan endapan neritik. Anggota Cibulakan Bawah dibedakan menjadi dua bagian sesuai dengan korelasi Cekungan Sumatera Selatan, yaitu: Formasi Talang Akar dan Formasi Baturaja. Secara keseluruhan Formasi Cibulakan ini berumur Miosen Awal sampai Miosen Tengah. Formasi Cibulakan Atas terbagi menjadi tiga anggota, yaitu : 

  • Massive 

Anggota ini terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Baturaja. Litologi anggota ini adalah perselingan batulempung dengan batupasir yang mempunyai ukuran butir dari halus-sedang. Pada Massive ini dijumpai kandungan hidrokarbon, terutama pada bagian atas. Selain itu terdapat fosil foraminifera planktonik seperti Globigerina trilobus serta foraminifera bentonik seperti Amphistegina (Arpandi dan Padmosukismo, 1975). 

  • Main 

Anggota ini terendapkan secara selaras di atas anggota Massive. Litologi penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan batupasir yang mempunyai ukuran butir halus-sedang (bersifat glaukonitan). Pada awal pembentukannya, berkembang batugamping dan juga blangketblangket pasir, dimana pada bagian ini dibedaan dengan anggota Main itu sendiri yang disebut dengan Mid Main Carbonate

  • Pre Parigi 

Pre-Parigi terendapkan secara selaras di atas anggota Main. Litologinya adalah perselingan batugamping, dolomit, batupasir dan batulanau. Anggota ini terbentuk pada kala Miosen Tengah-Miosen Akhir dan diendapkan pada lingkungan Neritik Tengah-Neritik Dalam (Arpandi dan Padmosukismo, 1975), dengan dijumpainya fauna-fauna laut dangkal dan juga kandungan batupasir glaukonitan. 

  • Formasi Parigi 

Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Cibulakan Atas. Litologi penyusunnya sebagian besar adalah batugamping abu-abu terang, berfosil, berpori dengan sedikit dolomit. Adapun litologi penyusun yang lain adalah serpih karbonatan, napal yang dijumpai pada bagian bawah. Selain itu, kandungan koral dan alga cukup banyak dijumpai selain juga bioherm dan biostorm. Pengendapan batugamping ini melampar ke seluruh Cekungan Jawa Barat Utara. Lingkungan pengendapan Formasi ini adalah laut dangkal - neritik tengah (Arpandi dan Padmosukismo, 1975). Formasi Parigi berkembang sebagai batugamping terumbu, namun di beberapa tempat ketebalannya menipis dan berselingan dengan napal. Batas bawah Formasi Parigi ditandai dengan perubahan berangsur dari batuan fasies campuran klastika karbonat dari Formasi Cibulakan Atas menjadi batuan karbonat Formasi Parigi. Kontak antara Formasi Parigi dengan Formasi Cisubuh yang berada di atasnya sangat tegas yang merupakan kontak antara batugamping bioklastik dengan napal yang berfungsi sebagai lapisan penutup. Formasi ini diendapkan pada kala Miosen Akhir-Pliosen.

  • Formasi Cisubuh 

Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Parigi. Litologi penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan batupasir dan serpih gampingan. Umur Formasi ini adalah kala Miosen Akhir sampai Pliosen - Pleistosen. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal yang semakin ke atas menjadi lingkungan litoral-paralik.

Stratigrafi Wilayah Jawa Tengah

Gambar Stratigrafi Karangsambung

Urutan stratigrafi Jawa Tengah secara keseluruhan dapat diwakilkan oleh stratigrafi pada daerah Karangsambung karena secara umum susunan litologi di daerah Jawa Tengah telah mengalami beberapa fase tektonik yang menyebabkan susunan stratigrafi manjadi tidak dapat disusun secara jelas dan stratigrafi di Karangsambung secara regional dapat menjelaskan tentang bagaimana tatanan stratigrafi di Jawa Tengah secara keseluruhan. Berikut adalah susunan stratigrafi di daerah Karangsambung mulai dari batuan paing tua hingga termuda.

  • Batuan Pra-Tersier

Merupakan batuan tertua yang tersingkap di zona pegunungan serayu selatan, mempunyai umur kapur tengah hingga paleosen yang dikenal sebagai kompleks Melange Luk Ulo (Sukendar Asikin, 1974 dalam Prasetyadi 2010). Kelompok batuan ini merupakan bagian dari kompleks melange yang terdiri dari graywacke, sekis, lava basal berstruktur bantal, gabbro, batugamping merah, rijang, lempung hitam yang bersifat serpihan dimana semuanya merupakan campuran yang dikontrol oleh tektonik.

  • Formasi Karangsambung

Merupakan kumpulan endapan olisostrom, terjadi akibat pelongsoran gaya berat di bawah permukaan laut, melibatkan endapan sedimen yang belum terkompaksi yang berlangsung pada lereng parit di bawah pengaruh endapan turbidit. Formasi ini merupakan sedimen pond dan diendapkan diatas bancuh Luk Ulo, terdiri dari konglomerat polimik, lempung abu-abu, serpih, dan beberapa lensa batugamping foraminifera besar. Hubungan tidak selaras dengan batuan Pra-Tersier.

  • Formasi Totogan

Harloff (1933) dan Tjia HD (1996) menamakan sebagai tufa napal, sedangkan Suyanto & Roksamil (1974) menyebutnya sebagai lempung breksi. Litologi berupa breksi dengan komponen batulempung, batupasir, batugamping, napal, dan tufa. Berumur oligosen-miosen awal, dan berkedudukan selaras diatas formasi karang sambung.

  • Formasi Waturanda

Fomasi ini terdiri dari batupasir vulkanik dan breksi vulkanik yang berumur miosen awal-miosen tengah yang berkedudukan selaras diatas formasi totogan. Formasi ini memiliki anggota Tuff, dimana Harloff (1933) menyebutnya sebagai Eerste Merger Tuff Horizon.

  • Formasi Penosogan

Formasi ini terendapkan selaras diatas formasi waturanda, litologi tersusun dari perselingan batupasir, batulempung, tufa, napal, dan kalkarenit. Ketebalan formasi ini 1000 meter, memiliki umur miosen awal-miosen tengah.

  • Formasi Halang

Formasi ini menindih selaras di atas formasi Penosogan dengan litologi terdiri dari perselingan batupasir, batulempung, napal, tufa dan sisipan breksi. Merupakan kumpulan sedimen yang dipengaruhi oleh turbidit bersifat distal sampai proksimal pada bagian bawah dan tengah kipas bawah laut. Formasi ini memiliki umur miosen awal-pliosen. Anggota Breksi Halang, Sukendar Asikin menamakan sebagai formasi breksi II dan berjemari dengan formasi Penosogan. Namun Sukendar Asikin (1974) meralat bahwasanya Anggota Breksi ini menjemari dengan Formasi Halang (dalam Prasetyadi, 2010).

  • Formasi Peniron

Awalnya para peneliti terdahulu menamakan formasi ini sebagai horizon breksi III. Formasi ini menindih selaras diatas formasi haling dan merupakan sedimen turbidit termuda yang diendapkan di Zona Pegunungan Serayu Selatan. Litologinya terdiri dari breksi aneka bahan dengan komponen andesit, batulempung, batupasir dengan masa dasar batupasir sisipan tufa, batupasir, napal, dan batulempung.

  • Batuan Vulkanik Muda

Memiliki hubungan yang tidak selaras dengan semua batuan yang lebih tua dibawahnya. Litologi terdiri dari breksi dengan sisipan batupasir tufan, dengan komponen andesit dan batupasir yang merupakan bentukan aliran lahar pada lingkungan darat. Berdasarkan ukuran komponen yang membesar kearah utara menunjukkan arah sumber di utara yaitu Gunung Sumbing yang berumur Pleistosen (Dari berbagai sumber dalam Prasetyadi, 2010).

Stratigrafi Wilayah Jawa Timur

Gambar Stratigrafi Jawa Timur dan Jawa Tengah

Stratigrafi daerah Jawa Timur sendiri dibagi menjadi 3, yaitu Zona Rembang, Zona Kendeng, dan Zona Pegunungan Selatan. Berikut penjelasan dari batuan penyusun Jawa Timur.

Zona Rembang

Menurut Sutarso dan Suyitno (1976), secara fisiografi daerah penelitian termasuk dalam Zona Rembang yang merupakan bagian dari cekungan sedimentasi Jawa Timur bagian Utara (East Java Geosyncline). Cekungan ini terbentuk pada Oligosen Akhir yang berarah Timur – Barat hampir sejajar dengan Pulau Jawa (Van Bemmelen, 1949). Menurut Koesoemadinata (1978), cekungan Jawa Timur bagian Utara lebih merupakan geosinklin dengan ketebalan sedimen Tersier mungkin melebihi 6000 meter. Suatu hal yang khas dari cekungan Jawa Timur bagian Utara berarah Timur-Barat dan terlihat merupakan gejala tektonik Tersier Muda.

Tiga tahap orogenesa telah dikenal berpengaruh terhadap pengendapan seri batuan Kenozoikum di Indonesia (Van Bemmelen, 1949). Yang pertama terjadi di antara interval Kapur Akhir – Eosen Tengah, kedua pada Eosen Tengah (Intramiocene Orogeny) dan ketiga terjadi pada Plio-Pleistosen. Orogenesa yang terjadi pada Miosen Tengah ditandai oleh peristiwa yang penting di dalam distribusi sedimen dan penyebaran flora dan fauna, terutama di daerah Indonesia bagian Barat dan juga menyebabkan terjadinya fase regresi (susut laut) yang terjadi dalam waktu singkat di Jawa dan daerah Laut Jawa. Fase orogenesa Miosen Tengah ditandai juga oleh hiatus di daerah Cepu dan dicirikan oleh perubahan fasies yaitu dari fasies transgresi menjadi fasies regresi di seluruh Zona Rembang. Selain hal tersebut diatas, fase orogenesa ini ditandai oleh munculnya beberapa batuan dasar Pra – Tersier di daerah pulau Jawa Utara (Van Bemmelen, 1949).

Perbedaan yang mencolok perihal sifat litologi dari endapan – endapan yang berada pada Mandala Kendeng, Mandala Rembang, dan Paparan laut Jawa yaitu sedimen. Mandala Kendeng pada umumnya terisi oleh endapan arus turbidit yang selalu mengandung batuan piroklastik dengan selingan napal dan batuan karbonat serta merupakan endapan laut dalam. Umumnya sedimen-sedimen tersebut terlipat kuat dan tersesar sungkup ke arah Utara, sedangkan Mandala Rembang memperlihatkan batuan dengan kadar pasir yang tinggi disamping meningkatnya kadar karbonat serta menghilangnya endapan piroklastik. Sedimen-sedimen Mandala Rembang memberi kesan berupa endapan laut dangkal yang tidak jauh dari pantai dengan kedalaman dasar laut yang tidak seragam. Hal ini disebabkan oleh adanya sesar-sesar bongkah (Block faulting) yang mengakibatkan perubahan-perubahan fasies serta membentuk daerah tinggian atau rendahan. Daerah lepas pantai laut Jawa pada umumnya ditempati oleh endapan paparan yang hampir seluruhnya terdiri dari endapan karbonat.

Mandala Rembang menurut sistem Tektonik dapat digolongkan ke dalam cekungan belakang busur (retro arc back arc) (Dickinson, 1974) yang terisi oleh sedimen-sedimen berumur Kenozoikum yang tebal dan menerus mulai dari Eosen hingga Pleistosen. Endapan berumur Eosen dapat diketahui dari data sumur bor (Pringgoprawiro, 1983).

Litostratigrafi Tersier di Cekungan Jawa Timur bagian Utara banyak diteliti oleh para pakar geologi diantaranya adalah Trooster (1937), Van Bemmelen (1949), Marks (1957), Koesoemadinata (1969), Kenyon (1977), dan Musliki (1989) serta telah banyak mengalami perkembangan dalam susunan stratigrafinya. Kerancuan tatanama satuan Litostratigrafi telah dibahas secara rinci oleh Pringgoprawiro (1983) dimana susunan endapan sedimen di Cekungan Jawa Timur bagian Utara dimasukkan kedalam stratigrafi Mandala Rembang dengan urutan dari tua ke muda yaitu Formasi Ngimbang, Formasi Kujung, Formasi Prupuh, Formasi Tuban, Formasi Tawun, Formasi Bulu, Formasi Ledok, Formasi Mundu, Formasi Lidah dan endapan yang termuda disebut sebagai endapan Undak Solo. Anggota Ngrayong Formasi Tawun dari Pringgoprawiro (1983) statusnya ditingkatkan menjadi Formasi Ngrayong oleh Pringgoprawiro, 1983. Anggota Selorejo Formasi Mundu (Pringgoprawiro, 1983) statusnya ditingkatkan menjadi Formasi Selorejo oleh Pringgoprawiro (1985) serta Djuhaeni dan Martodjojo (1990). Sedangkan Formasi Lidah mempunyai tiga anggota yaitu Anggota Tambakromo, Anggota Malo (sepadan dengan Anggota Dander dari Pringgoprawiro, 1983) dan Anggota Turi (Djuhaeni, 1995).

Rincian stratigrafi Cekungan Jawa Timur bagian Utara dari Zona Rembang yang disusun oleh Harsono Pringgoprawiro (1983) terbagi menjadi 15 (lima belas) satuan yaitu Batuan Pra – Tersier, Formasi Ngimbang, Formasi Kujung, Formasi Prupuh, Formasi Tuban, Formasi Tawun, Formasi Ngrayong, Formasi Bulu, Formasi Wonocolo, Formasi Ledok, Formasi Mundu, Formasi Selorejo, Formasi Paciran, Formasi Lidah dan Undak Solo. Pembahasan masing – masing satuan dari tua ke muda adalah sebagai berikut.

  • Formasi Tawun

Formasi Tawun mempunyai kedudukan selaras di atas Formasi Tuban, dengan batas Formasi Tawun yang dicirikan oleh batuan lunak (batulempung dan napal). Bagian bawah dari Formasi Tawun, terdiri dari batulempung, batugamping pasiran, batupasir dan lignit, sedangkan pada bagian atasnya (Anggota Ngrayong) terdiri dari batupasir yang kaya akan moluska, lignit dan makin ke atas dijumpai pasir kuarsa yang mengandung mika dan oksida besi. Penamaan Formasi Tawun diambil dari desa Tawun, yang dipakai pertama kali oleh Brouwer (1957). Formasi Tawun memiliki penyebaran luas di Mandala Rembang Barat, dari lokasi tipe hingga ke Timur sampai Tuban dan Rengel, sedangkan ke Barat satuan batuan masih dapat ditemukan di Selatan Pati. Lingkungan pengendapan Formasi Tawun adalah paparan dangkal yang terlindung, tidak terlalu jauh dari pantai dengan kedalaman 0 – 50 meter di daerah tropis. Formasi Tawun merupakan reservoir minyak utama pada Zona Rembang. Berdasarkan kandungan fosil yang ada, Formasi Tawun diperkirakan berumur Miosen Awal bagian Atas sampai Miosen Tengah.

  • Formasi Ngrayong

Formasi Ngrayong mempunyai kedudukan selaras di atas Formasi Tawun. Formasi Ngrayong disusun oleh batupasir kwarsa dengan perselingan batulempung, lanau, lignit, dan batugamping bioklastik. Pada batupasir kwarsanya kadang-kadang mengandung cangkang moluska laut. Lingkungan pengendapan Formasi Ngrayong di daerah dangkal dekat pantai yang makin ke atas lingkungannya menjadi littoral, lagoon, hingga sublittoral pinggir. Tebal dari Formasi Tawun mencapai 90 meter. Karena terdiri dari pasir kwarsa maka Formasi Tawun merupakan batuan reservoir minyak yang berpotensi pada cekungan Jawa Timur bagian Utara. Berdasarkan kandungan fosil yang ada, Formasi Ngrayong diperkirakan berumur Miosen Tengah.

  • Formasi Bulu

Formasi Bulu secara selaras berada di atas Formasi Ngrayong. Formasi Bulu semula dikenal dengan nama ‘Platen Complex’ dengan posisi stratigrafi terletak selaras di atas Formasi Tawun dan Formasi Ngrayong. Ciri litologi dari Formasi Bulu terdiri dari perselingan antara batugamping dengan kalkarenit, kadang – kadang dijumpai adanya sisipan batulempung. Pada batugamping pasiran berlapis tipis kadang-kadang memperlihatkan struktur silang siur skala besar dan memperlihatkan adanya sisipan napal. Pada batugamping pasiran memperlihatkan kandungan mineral kwarsa mencapai 30 %, foraminifera besar, ganggang, bryozoa dan echinoid. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal antara 50 – 100 meter. Tebal dari formasi ini mencapai 248 meter. Formasi Bulu diperkirakan berumur Miosen Tengah bagian atas.

  • Formasi Wonocolo

Lokasi tipe Formasi Wonocolo tidak dinyatakan oleh Trooster, 1937, kemungkinan berasal dari desa Wonocolo, 20 km Timur Laut Cepu. Formasi Wonocolo terletak selaras di atas Formasi Bulu, terdiri dari napal pasiran dengan sisipan kalkarenit dan kadang-kadang batulempung. Pada napal pasiran sering memperlihatkan struktur parallel laminasi. Formasi Wonocolo diendapkan pada kondisi laut terbuka dengan kedalaman antara 100 – 500 meter. Tebal dari formasi ini antara 89 meter sampai 339 meter. Formasi Wonocolo diperkirakan berumur Miosen Akhir bagian bawah sampai Miosen Akhir bagian tengah.

  • Formasi Ledok

Formasi ini terdiri dari batulempung abu-abu, napal, batulanau gampingan dengan sisipan-sisipan tipis batugamping, kadang terdapat batupasir glaukonit. Satuan ini terletak tidak selaras di atas Formasi Wonocolo dengan bagian bawah dicirikan oleh batupasir glaukonit berwarna hijau. Diantara Formasi Wonocolo dan Formasi Ledok terdapat suatu rumpang stratigrafi, yang ditandai dengan hilangnya Zona N15 dan bagian bawah Zona N16 karena erosi atau proses ketiadaan pengendapan (non-deposition). Lingkungan pengendapan berkisar antara neritik tengah sampaibatial atasFormasi Mundu (Tmpm), terdiri dari napal masif berwarna abu-abu keputihan, kaya akan foraminifera plankton. Formasi Mundu terletak selaras di atas Formasi Ledok. Formasi ini diendapkan pada laut terbuka (neritik luar sampai bathial) dan berumur Miosen Akhir – Pliosen (N17-N21).

  • Anggota Selorejo Formasi Lidah 

Formasi ini terdiri dari selang-seling lapisan tipis batugamping dengan kalkarenit yang kaya akan foraminifera plankton. Batuan ini diendapkan pada Pliosen Akhir-Plistosen berkaitan dengan susut laut atau bersamaan dengan perlipatan sedimen di Cekungan Jawa Timur Utara.

  • Formasi Lidah 

Di formasi ini terdiri dari batulempung abu-abu dan batulempung hitam dengan sisipan batupasir yang mengandung moluska. Umur formasi ini adalah Pliosen Akhir-Plistosen.

  • Formasi Paciran 

Formasi ini terdiri dari batugamping masif dengan permukaan berbentuk karen yang terjadi karena pengaruh pelapukan. Batugamping ini bersifat dolomitan, pada umumnya berfasies terumbu dengan organisme pembentuk terdiri dari koral, ganggang dan foraminifera. Umur formasi ini tidak dapat dipastikan karena tidak mengandung fosil penunjuk. Walaupun demikian, karena dipeta geologi Lembar Jatirogo menindih Formasi Mundu secara tidak selaras, umurnya diduga Pliosen-Plistosen.

  • Endapan Gunungapi Lasem 

Endapan Gunungapi Lasen terdiri dari andesit, aglomerat, breksi, tuf lapili, tuf halus, dan lahar. Satuan batuan ini diperkirakan terbentuk oleh kegiatan gunungapi zaman Kuarter.

  • Endapan Gunungapi Muria 

Formasi terdiri dari tuf, lahar, dan tuf pasiran. Umurnya diperkirakan Kuarter.

Zona Kendeng

Menurut Pringgoprawiro (1983), maka secara stratigrafi Zona Kendeng dapat dibagi menjadi unit­unit stratigrafi sebagai berikut.

Gambar Stratigrafi Zona Kendeng


  • Formasi Pelang

Formasi ini terdiri dari napal abu­abu yang masif sampai berlapis yang kaya fosil dan batulempung abu­abu dengan sisipan batugamping bioklastik. Lapisan ini diendapkan pada lingkungan neritik dan berumur Oligosen Akhir ­ Miosen Awal.

  • Formasi Kerek

Pada formasi ini terdiri dari endapan turbidit dengan ketebalan 800 m, sebagian besar terbentuk oleh lapisan yang menghalus dan menipis keatas dengan tipe struktur sedimen arus densitas. Litologinya terdiri atas batupasir tufaan, batulempung, napal, dan batugamping. Formasi ini berumur Miosen Awal – Miosen Akhir.

  • Formasi Kalibeng (Kalibeng Bawah)

Kalibeng Bawah terdiri dari napal abu­abu kehijauan kaya fosil dengan sisipan tuf berlapis tipis. Sedimen ini diendapkan pada lingkungan bathyal. Bagian atas dari Formasi Kalibeng (Anggota Atasangin) terdiri atas perlapisan batupasir tufaan berukuran halus­kasar, tuf putih, dan breksi volkanik. Sedimen ini diendapkan oleh mekanisme turbidit. Formasi ini berumur Miosen Akhir – Pliosen.

  • Formasi Sonde (Kalibeng Atas)

Sedangkan bagian bawah dari formasi ini (Anggota Klitik) didominasi oleh perlapisan napal pasiran, batupasir gampingan, dan tuf. Sedangkan bagian atasnya terdiri atas batugamping mengandung balanus dan grainstone. Formasi ini diendapkan di lingkungan laut dangkal dan berumur Pliosen.

  • Formasi Pucangan

Formasi ini terdiri atas batupasir kasar­konglomeratan, batupasir, batupasir tufaan, dan lempung hitam yang mengandung moluska air tawar. Di Zona Kendeng bagian barat dan tengah, Formasi Pucangan berkembang sebagai fasies daratan. Sedangkan di bagian timur Zona Kendeng, Formasi Pucangan merupakan endapan laut dangkal. Formasi ini berumur Pliosen Akhir – Pleistosen Awal.

  • Formasi Kabuh

Formasi ini terdiri dari perlapisan batupasir kasar dengan perlapisan silang­siur, fosil vertebrata, lensa konglomerat, dan tuf. Di Zona Kendeng bagian barat dan tengah, Formasi Kabuh diendapkan pada lingkungan darat, sedangkan di Zona Kendeng bagian timur Formasi Kabuh mempunyai fasies yang berbeda­beda, fasies darat berangsur­ angsur berubah menjadi fasies laut yang makin keatas berubah ke batuan volkanik yang diendapkan pada lingkungan pantai.

  • Formasi Notopuro

Formasi Notopuro terdiri dari endapan lahar, tuf, dan batu pasir tufaan berumur Pleistosen yang diendapkan pada lingkungan darat.

Zona Pegunungan Selatan

Gambar Stratigrafi Pegunungan Selatan


  • Formasi Kebo Butak

Formasi ini secara umum terdiri-dari konglomerat, batupasir, dan batulempung yang menunjukkan kenampakan pengendapan arus turbid maupun pengendapan gaya berat yang lain. Di bagian bawah oleh Bothe disebut sebagai anggota Kebo (Kebo beds) yang tersusun antara batupasir, batulanau, dan batulempung yang khas menunjukkan struktur turbidit dengan perselingan batupasir konglomeratan yang mengandung klastika lempung. Bagian bawah anggota ini diterobos oleh sill batuan beku.

Bagian atas dari formasi ini termasuk anggota Butak yang tersusun oleh perulangan batupasir konglomeratan yang bergradasi menjadi lempung atau lanau. Ketebalan rata-rata formasi ini kurang lebih 800 meter. Urutan yang membentuk Formasi Kebo – Butak ini ditafsirkan terbentuk pada lingkungan lower submarine fan dengan beberapa interupsi pengandapan tipe mid fan yang terbentuk pada Oligosen Akhir (N2 – N3).

  • Formasi Semilir

Secara umum formasi ini tersusun oleh batupasir dan batulanau yang bersifat tufan, ringan, dan kadang-kadang diselingi oleh selaan breksi volkanik. Fragmen yang menyusun breksi maupun batupasir biasanya berupa batuapung yang bersifat asam. Di lapangan biasanya dijumpai perlapisan yang begitu baik, dan struktur yang mencirikan turbidit banyak dijumpai. Langkanya kandungan fosil pada formasi ini menunjukkan bahwa pengendapan berlangsung secara cepat atau berada pada daerah yang sangat dalam, berada pada daerah ambang kompensasi karbonat (CCD), sehingga fosil gampingan sudah mengalami korosi sebelum mencapai dasar pengendapan. 

Umur dari formasi ini diduga adalah pada Miosen Awal (N4) berdasar pada keterdapatan Globigerinoides primordius pada daerah yang bersifat lempungan dari formasi ini, yaitu di dekat Piyungan (Van Gorsel, 1987). Formasi Semilir ini menumpang secara selaras di atas anggota Butak dari Formasi Kebo – Butak. Formasi ini tersingkap secara baik di wilayahnya, yaitu di tebing gawir Baturagung di bawah puncak Semilir.

  • Formasi Nglanggeran

Formasi ini berbeda dengan formasi-formasi sebelumnya, yang dicirikan oleh penyusun utamanya berupa breksi dengan penyusun material volkanik, tidak menunjukkan perlapisan yang baik dengan ketebalan yang cukup besar, bagian yang terkasar dari breksinya hampir seluruhnya tersusun oleh bongkah-bongkah lava andesit, sebagian besar telah mengalami breksiasi. 

Formasi ini ditafsirkan sebagai pengendapan dari aliran rombakan yang berasal dari gunungapi bawah laut, dalam lingkungan laut, dan proses pengendapan berjalan cepat, yaitu hanya selama Miosen Awal (N4). Singkapan utama dari formasi ini adalah di Gunung Nglanggeran pada Perbukitan Baturagung. Kontaknya dengan Formasi Semilir di bawahnya merupakan kontak yang tajam. Hal inilah yang menyebabkan mengapa Formasi Nglanggeran dianggap tidak searas di atas Formasi Semilir. Namun perlu diingat bahwa kontak yang tajam itu bisa terjadi karena perbedaan mekanisme pengendapan dari energi sedang atau rendah menjadi energi tinggi tanpa harus melewati kurun waktu geologi yang cukup lama. Hal ini sangat biasa dalam proses pengendapan akibat gaya berat. Van Gorsel (1987) menganggap bahwa pengendapannya diibaratkan proses runtuhnya gunungapi seperti Krakatau yang berada di lingkungan laut.

  • Formasi Sambipitu

Di atas Formasi Nglanggeran kembali terdapat formasi batuan yang menunjukkan ciri-ciri turbidit, yaitu Formasi Sambipitu. Formasi ini tersusun oleh batupasir yang bergradasi menjadi batulanau atau batulempung. Di bagian bawah, batupasirnya masih menunjukkan sifat volkanik, sedang ke arah atas sifat volkanik ini berubah menjadi batupasir yang bersifat gampingan. Pada batupasir gampingan ini sering dijumpai fragmen dari koral dan foraminifera besar yang berasal dari lingkungan terumbu laut dangkal yang terseret masuk dalam lingkungan yang lebih dalam akibat arus turbid. Ke arah atas, Formasi Sambipitu berubah secara gradasional menjadi Formasi Wonosari (anggota Oyo) seperti singkapan yang terdapat di Sungai Widoro di dekat Bunder. Formasi Sambipitu terbentuk selama zaman Miosen, yaitu kira-kira antara N4 – N8 atau NN2 – NN5.

  • Formasi Oyo – Wonosari

Selaras di atas Formasi Sambipitu terdapat Formasi Oyo – Wonosari. Formasi ini terutama terdiri-dari batugamping dan napal. Penyebarannya meluas hampir setengah bagian dari Pegunungan Selatan memanjang ke timur, membelok ke arah utara di sebelah Perbukitan Panggung hingga mencapai bagian barat dari daerah depresi Wonogiri – Baturetno. Bagian terbawah dari Formasi Oyo – Wonosari terutama tersusun dari batugamping berlapis yang menunjukkan gejala turbidit karbonat yang terendapkan pada kondisi laut yang lebih dalam, seperti yang terlihat pada singkapan di daerah di dekat muara Sungai Widoro masuk ke Sungai Oyo. Di lapangan batugamping ini terlihat sebagai batugamping berlapis, menunjukkan sortasi butir dan pada bagian yang halus banyak dijumpai fosil jejak tipe burial yang terdapat pada bidang permukaaan perlapisan ataupun memotong sejajar perlapisan. Batugamping kelompok ini disebut sebagai anggota Oyo dari Formasi Wonosari.

Ke arah lebih muda, anggota Oyo ini bergradasi menjadi dua fasies yang berbeda. Di daerah Wonosari, semakin ke selatan batugamping semakin berubah menjadi batugamping terumbu yang berupa rudstone, framestone, floatstone, bersifat lebih keras dan dinamakan sebagai anggota Wonosari dari Formasi Oyo – Wonosari (Bothe, 1929). Sedangkan di barat daya Kota Wonosari batugamping terumbu ini berubah menjadi batugamping berlapis yang bergradasi menjadi napal yang disebut sebagai anggota Kepek dari Formasi Wonosari. Anggota Kepek ini juga tersingkap di bagian timur, yaitu di daerah depresi Wonogiri – Baturetno, di bawah endapan kuarter seperti yang terdapat di daerah Eromoko. Secara keseluruhan, formasi ini terbentuk selama Miosen Akhir (N9 – N18).

Posting Komentar

Posting Komentar