Bumi Pernah Jadi Neraka, Studi Peringatkan Sejarah Bisa Terulang

Bumi Pernah Jadi Neraka, Studi Peringatkan Sejarah Bisa Terulang

Pemanasan global bukan hanya isu masa depan, tapi cerminan dari bencana iklim di masa lalu. (Dok. Shutterstock/Nexus 7)
Pernahkah Anda membayangkan Bumi berubah menjadi neraka? Bukan kiasan, tapi sebuah realitas panas ekstrem yang pernah memusnahkan hampir seluruh kehidupan. Kini, para ilmuwan memperingatkan bahwa kita mungkin sedang berjalan menuju skenario mengerikan yang sama, dan pemicunya ada di depan mata: penggundulan hutan yang tak terkendali.
Sebuah studi baru dalam jurnal Nature Communications menguak kembali kisah kelam dari 252 juta tahun lalu, saat peristiwa kepunahan massal terbesar terjadi. Yang mengejutkan, bahkan setelah pemicu utamanya berhenti, Bumi tetap "demam" selama lima juta tahun. Penyebabnya? Hutan-hutan tropis di planet ini telah runtuh total.
Peringatan ini sangat relevan. Jika hutan seperti Amazon dan hutan Asia Tenggara terus kita gerus, efeknya bisa mengunci Bumi dalam siklus pemanasan yang tak terbalikkan. Bahkan, menghentikan seluruh emisi pun mungkin tak akan cukup untuk mendinginkan planet ini.
Belajar dari Bencana Purba "The Great Dying"
Mari kita putar waktu kembali. Sekitar 252 juta tahun lalu, letusan gunung berapi dahsyat di Siberia memuntahkan bencana, memicu kepunahan massal yang dikenal sebagai "The Great Dying". Hampir 90% spesies laut dan sebagian besar kehidupan darat lenyap.
Anehnya, setelah letusan berhenti, Bumi tak kunjung pulih. Planet kita terus terpanggang dalam suhu tinggi selama jutaan tahun. Tim peneliti dari Universitas Leeds dan China University of Geosciences akhirnya menemukan biang keladinya: hilangnya hutan tropis.
Hutan adalah pendingin alami planet kita. Mereka "memakan" karbon dioksida (CO2) yang membuat Bumi panas. Ketika hutan-hutan purba itu lenyap, termostat alami Bumi rusak total. Tanpa ada yang menyerap, CO2 menumpuk di atmosfer, menciptakan efek rumah kaca yang lepas kendali. Ini adalah titik kritis iklim (climate tipping point) yang sekali terlewati, tak ada jalan untuk kembali.

Hutan Amazon adalah salah satu benteng terakhir kita melawan perubahan iklim. (Pexels/Tom Fisk)
Alarm dari Masa Lalu untuk Kita Hari Ini
Kisah purba tadi bukan sekadar dongeng geologi. Lihatlah apa yang terjadi hari ini pada Hutan Amazon dan hutan-hutan di Asia Tenggara. Deforestasi, kebakaran, dan perubahan iklim terus menggerogoti "paru-paru dunia" kita.
Peringatan dari 252 juta tahun lalu sangat jelas: jika hutan-hutan vital ini runtuh, kita akan memicu pemanasan global yang mungkin tak bisa kita hentikan, bahkan jika kita berhenti membakar bahan bakar fosil esok hari.
"Jika hutan tropis runtuh, jangan harap iklim akan kembali seperti sebelum era industri. Bahkan, bisa jadi jauh lebih buruk," terang Profesor Benjamin Mills, salah satu peneliti.
Ini Bukan Lagi Soal Menanam Pohon, Ini Soal Bertahan Hidup
Jadi, apa yang bisa kita lakukan? Jawabannya bukan sekadar program reboisasi 10-20 tahun. Waktu yang dibutuhkan alam untuk pulih dari kerusakan sebesar itu dihitung dalam skala waktu geologis, bukan kalender manusia.
Pesan dari para peneliti ini sangat menusuk: melindungi hutan yang masih ada adalah satu-satunya jalan. Ini bukan lagi soal agenda lingkungan, tetapi sudah menjadi soal kelangsungan hidup kita sebagai spesies.
Seperti yang dikatakan Profesor Hongfu Yin, kita harus menjadikan pelajaran dari masa lalu sebagai sistem peringatan dini.
"Cerita Bumi belum selesai. Kita bisa pilih: belajar dari masa lalu atau mengulanginya," tutup Prof. Jianxin Yu.
Pada akhirnya, nasib sistem iklim seluruh planet ada di tangan kita, bergantung pada bagaimana kita memperlakukan hutan-hutan yang tersisa.